Minggu, 19 Desember 2010

thaharah

Posted on Juli 29, 2009 by Mohammad Sayidin
Thaharah secara etimilogi adalah membersihankan dan mensucikan dari kotoran-kotoran atau noda yang bersifat inderawi, seperti air kencing, atau juga kotoran ma’nawi seperti dosa dan perbuatan maksiat. Yang dimaksud dengan membersihkanan sesuatu di sini adalah menetapkan kebersihan sesuatu di tempat yang terkena kotoran. Thaharah secara terminologi adalah memberisihkan sesuatu dari najis, baik berupa najis hakiki, yaitu najis dari kotoran-kotoran, atau hukmiyah, yaitu hadats. Menurut imam Nawawi bahwa thahârah adalah mengangkat kotoran-kotoran, atau menghilangkan najis, atau segala sesuatu yang sepadan dengan keduanya, atau sesuatu yang berbentuk seperti keduanya. Dari pengertian terakhir ini bearti masuk juga tayammum, mandi-mandi sunnah dan memperbaharui wudu’.
Thahârah memiliki posisi penting dalam Islam, baik itu thahârah hakiki, yaitu mensucikan pakaian, badan, atau tempat shalat dari najis, ataukah thahârah hukmiyyah, yaitu membersihkan anggota badan yang harus terkena wudu’ dari hadats, atau juga membersihkan seluruh badan karena junub.
Thahârah baik dari hadats kecil maupun hadats besar merupakan syarat utama sahnya shalat. Berhubung shalat adalah hubungan langsung antara hamba dengan Tuhannya, maka sudah menjadi keniscayaan seorang hamba untuk menghadap tuhan dengan kesucian. Tentu saja sebagai rasah hormat hamba terhadap Sang Pencipta.
Namun demikian, dalam tulisan ini kami hanya akan mencantumkan beberapa hal yang berkaitan dengan kotoran bagi wanita dan implikasinya dalam ibadah mahdhah.
Haid, Nifas dan Isthihadah
Darah yang keluar dari kubul wanita ada tiga macam, darah haid, yaitu darah yang keluar sementara wanita dalam keadaan sehat, darah istihâdhah, yaitu darah yang keluar sementara wanita dalam keadaan sakit, dan darah nifas, yaitu darah yang keluar ketika wanita sedang melahiran.
Pengertian haid
Haid secara etimologi adalah sesuatu yang mengalir. Secara terminologi adalah darah yang keluar dari pangkal rahim seorang wanita bukan karena melahirkan atau karena sakit, dan dengan batas-batas waktu tertentu. Biasanya darah haid berwarna kehitaman, panas dan ketika keluar terasa perih.
Dalam kaitanya dengan ini, Allah berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”.(QS. 2:222). Juga disandarkan darii hadits Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, “Ini adalah sesuatu yang telah dituliskan Allah kepada waita anak turun Adam.”
Waktu haid.
Terkadang haid dimulai sejak wanita berumur sembilan tahun dan berakhir sampai pada usia manopause (berhenti haid). Jika terlihat darah sebelum atau sesudah umur tersebut, maka sesungguhnya itu adalah darah rusak, atau wanita sedang mengalami pendarahan.
Wanita yang sudah haid, bearti ia dianggap telah dewasa (akil baligh). Dengan demikian, ia telah memiliki kewajiban untuk melaksanakan semua beban syariat (mukallaf), seperti shalat, puasa, zakat, haji dll. Jika wanita sampai umur 15 tahun belum juga haid, maka pada waktu itu ia dianggap telah dewasa.
Namun demikian para ulama berbeda pendapat mengenai batasan usia manopause dikarenakan tidak terdapat nash yang dapat dijadikan sebagai sandaran. Batasan usia manopause hanya berlandaskan pada penelitian dan analisa terhadap kondisi wanita.
Menurut Hanafiyah bahwa usia manopause sekitar 55 tahun, sementara Malikiyah 70 tahun. Syafiiah sendiri berpendapat bahwasanya tidak ada batas maksimum bagi usia manopause. Selama wanita masih hidup, maka masih ada kemungkinan untuk haid. Hanya saja pada umumnya usia manopause sekitar 62 tahun. Hanbaliyah berpendapat bahwa usia manopause adalah 50 tahun. Hal ini berlandaskan pada perkataan Aisyah RA, “Jika wanita telah sampai umur 50 tahun maka ia telah keluar dari darah haid.” Ia juga berkata, “Kalian semua sama sekali tidak akan melihat seorang anak di perutnya setelah wanita berumur 50 tahun.
Batasan waktu haid.
Haid didahului dengan batasan minimum keadaan suci bagi wanita, yaitu menurut jumhur ulama 15 hari, dan juga sampai pada batasan minimum haid. Hanya saja mengenai batasan minimum ini terjadi selisih pendapat dikalangan para ulama. Jika darah keluar diluar batasan minimum waktu haid, atau sebaliknya keluar dari batasan maksimum maka darah tersebut disebut sebagai darah istihâdah.
Menurut Syafiiyah bahwa batasan minimum haid adalah satu hari satu malam (24 jam) secara sempurna. Maksudnya adalah, jika diletakkan kapas maka kapas tersebut akan tercemar. Dengan kata lain tidak disyaratkan banyaknya darah yang keluar. Namun yang terpenting adalah darah tersebut keluar secara kesinambungan atau juga secara terputus-putus dan dalam waktu yang telah ditentukan. Pada umumnya haid berlangsung selama 6 atau 7 hari.
Pengertian nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kubul wanita setelah ia malahirkan. Adapun darah yang keluar sebelum atau ketika ia melahirkan, atau darah rusak (fasad) adalah darah istihadah.
Batas minimum nifas adalah sekejap mata (lahdah). Sebagian ulama berpendapat bahwa nifas tidak memiliki batas minimum melihat tidak ada keterangan yang pasti dari syariat. Nifas akan sangat kondisional bergantung kepada yang faktor biologis yang bersangkutan. Terkadang darah nifas cukup banyak, namun terkadang sangat sedikit dan bahkan ada yang tidak keluar darah nifas sama sekali. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa pada masa Rasulullah SAW ada seorang waita melahirkan sementara ia tidak melihat darah nifas. Wanita itu kemudian dijuluki dengan “dzâtul jufûf”. Menurut Syafiiyah, biasanya nifas berlangsung selama 40 hari. Dan batasan maksimum nifas adalah 60 hari.
Implikasi haid dan nifas bagi wanita
Haid dan nifas bagi wanita mempunyai implikasi dalam tanggungan hukum syariat yaitu:
1. Wajib mandi.
Jika wanita mengalami haid atau nifas, maka setelah darahnya berhenti mengalir ia wajib mandi. Hal ini didasarkan dari firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. 2:222).
2. Akil baligh (bulûgh)
Wanita haid dianggap telah dewasa (balìgh) serta telah menanggung beban syariat Bersabda Rasulullah SAW, “Allah tidak menerima shalat orang yang telah haid terkecuali denga menutup (auratnya)”.
3. Tidak mengandung
Wanita haid di masa iddah dianggap tidak mengandung. Sebagaimana telah diketahui bahwa sesungguhnya disyariatkan hukum iddah tersebut adalah untuk mengetahui apakah wanita mengandung ataukah tidak.
4. Menurut pendapat Hanafiyah dan Hanbaliyah bahwa masa Iddah dihitung dari masa haid. Menurut mereka kata tiga qurû yang tertera dalam Al-Qur’an bearti masa haid.
5. kaffarah dengan bersetubuh ketika dalam keadaan haid menurut hanbaliyah.
Hal-hal yang diharamkan bagi wanita haid atau nifas
1. Masuk atau beri’tikaf di masjid.
Menurut jumhûr ulama bahwa wanita haid diharamkan masuk masjid. Sementara imam Ahmad berpendapat bahwa wanita haid yang berwudhu diperbolehkan masuk masjid. Pendapat pertama didasarkan pada firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hinggakamu mandi. (QS. 4:43). Juga dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Rasululah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi waita haid dan tidak pula orang yang junub”. Juga hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dan Al Thabrani dari Ummi Salamah bahwa Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam halaman masjid, kemudian beliau bersabda dengan suara keras “Bahwa Masjid tidak dihalalkan bagi wanita yang sedang haid atau junub”.
Masuk Majid diperkenankan dengan catatan memang ada sesuatu yang diperlukan. Konon para sahabat sering melewati Masjid untuk mengambil air. Hal ini dikarenakan tidak ada jalan lain dari rumah mereka selain melalui Masjid.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tutuplah tiap-tiap pintu rumah yang berdampingan dengan Masjid terkecuali pintunya Abu Bakar. Dahulu pintu rumah para sahabat bersebelahan dengan jalan menuju Masjid. Dari sini, Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk menutupnya. Hanya saja, Nabi Muhammad SAW memberikan pengecualian kepada Abu Bakar karena beliau mengetahui bahwa Abu Bakar akan menjadi khalifah setelah wafatnya beliau. Sementara Abu Bakar akan selalu keluar masuk Masjid karena keperluan yang dibutuhkan.
Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang berwudhu diperbolehkan masuk Masjid. Hal ini didandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Said bin Manshur yang menyebutkan bahwa para sahabat dahulu keluar masuk Masjid namun dalam keadaan suci dengan berwudu.
2. Menyentuh dan membawa mushaf
Jumhûr ulama mengatakan bahwa wanita haid atau nifas tidak diperkenankan (diharamkan) menyentuh mushaf atau membawanya. Sementara imam Abu Dawud dan ibnu Hazm berpendapat bahwa dibolehkan menyentuh dan membawa mushaf bagi wanita haid dan nifa.
Dalil-dalil yang dijadikan sandaran Jumhûr ulama adalah
1. firman Allah mengenai syarat thaharâh secara umum, “Pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (QS. 56:78-79). Yang dimaksud dengan Al-Kitab dalam ayat tersebut adalah mushaf. Dan yang dimaksud dengan menyentuh adalah sentuhan inderawi
2. Hadits Amru bin hazm di mana ia membawa surat dari Rasulullah ke Yaman di mana di dalamnya tertulis, “Bahwa Al-Qur’an tidak dapat disentuh terkecuali bagi orang yang suci”.
3. hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr ‘Tidak diizinkan menyentuh Al-Qur’an terkecuali kamu dalam dalam keadaan suci.”.
Sementara dalil yang digunakan ibnu Hazm dan Abu Dawud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW mengirimkan surat
Hurqul yang di dalamnya tertulis, “Bismillahirrahmanirrahim”. Juga terdapat ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “Katakanlah:”Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. 3:64).
3. Membaca Al-Qur’an.
Wanita haid dan nifas diharamkan membaca Al-Qur’an . dalam hadit disebutkan, “Bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW tidak melarag seseorang untuk membaca Al-Qur’an babi mereka yang tidak berjunub”. Juga hadit Nai yang diriwayatkan Sayyidina Ali bahwa ia berkata, “Aku melihat Rasulullah berwudu kemudian membaca sesuatu dari (ayat) Al-Qur’an, kemudian beliau bersabda, “Seperti inilah bagi orang yang tidak berjunub. Sedangkan bagi mereka yang junub tidak diperbolehkan meskipun hanya satu ayat.
Jika ia membaca Al-Qur’an dengan tujuan untuk memuji keagungan Tuhan, untuk berdoa, sebagai pembuka terhadap suatu perintah, sebagai pembuka dalam majlis ta’lim, isti’âdzah (minta perlindungan Allah), atau untuk berdzikir, maka bacaan seperti tidak diharamkan. Seperti ketika akan naik kendaraan kemudian ia membaca “subhânalladzî sakhara lana hadza wamâ kunna lahû muqrinîn”. Ketika turun dari kendaraan membaca, “Wa qul rabbî anzilnî manzilan mubârakan”, dan ketika terkena musibah mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi rajiûn”.
Juga tidak diharamkan membaca Al-Qur’an karena ketidaksengajaan. Tidak diharamkan membaca basmalah, surat Al-Fatihah, dan ayat kursy dengan tujuan untuk berdzikir kepada Allah. Hal ini bersandarkan dari hadits yang diriwayatkan imam Muslim dari Aisyah bahwa ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW selalu berdzikir kepada Allah dalam tiap saat”.
4. Berpuasa
Wanita haid dan nifas diharamkan menjalankan ibadah puasa.. Jika ia tetap melakukan ibadah puasa maka puasanya tidak dianggap. Selanjutnya ia harus mengqadha semua hari yang telah lalu pada waktu ia haid dan nifas. Namun demikian ia tidak diwajibkan mengqadha shala, karena shalat dikerjakan secara berulang-ulang. Hal ini dilandasi dari hadits yang diriwayatkan oleh jamaah dari Mu’adzah bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah RA, aku mengatakan, “Megapa orang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat? Maka beliau menjawab, “Seperti itu kami pernah mengalaminya ketika masih bersama dengan Rasulullah SAW, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.
4. Thawaf, meskipun sunnah.
Wanita haid dan nifas diharamkan berthawaf di ka’bah, karena thawaf adalah shalat seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Hanya saja tahwaf di ka’bah adalah shalat. Jika kalian sedang berthawaf maka sedikitkanlah berbicara.” Juga perkataan Aisyaj RA, “Jika waita sedang haid, berbuatlah seperti yang diperbuat orang yang sedang menunaikan ibadah haji, namun kalian jangan berthawaf di ka’bah sehingga kalian bersuci (HR Muttafaqun alaihi).
5. Bersetubuh.
Diharamkan bagi wanita haid dan nifas untuk besetubuh. Diriwayatkan dari hadits Anas bahwa berkata, “Jika wanita orang Yahudi sedang haid, mereka tidak diberi makan dan tidak digauli”. Para sahabat bertanya mengenai masalah ini kepada Rasuullah SAW. Maka Allah menurunkan ayat berikut, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:”Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintakan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. 2:222). Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Berbuatlah apa saja terkecuali
menikah (bersetubuh)”. Dalam riwayat lain dikatakan “Terkecuali jima’” .
Berkata imam Nawami, “Jika seorang muslim berkeyakinan bahwa bersetubuh dengan istri yang sedang haid hukumnya halal, maka ia telah kafir dan murtad. Dan jika ia melakukannya bukan karena keyakinan bahwa perbuatan tersebut halal, dikarenakan ia lupa atau tidak tahu bahwa perbuatan tersebut diharamkan, atau karena ia tidak tahu jika wanita sedang haid, maka ia tidak berdosa dan tidak wajib kafarah. Dan jika ia melaksanakan secara sengaja sementara ia mengetahui bahwa istri sedang haid dan juga mengetaui hukumnya haram, maka ia telah melaksanakan suatu maksiat yang besar dan wajib bertaubat”.
Apakah mereka yang melakukan persetubuhan dengan istri yang sedang haid dan nifas harus membayar kafarah? Dalam hal ini ada dua pendapat, sebagian mewajibkan kaffârah dan sebagian lagi tidak. Namun, pendapat paing shahih adalah mereka yang mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak tidak wajib kaffârah.
Menurut imam Nawawi, bahwa jika suami hanya sekedar bermain dengan istrinya antara atas pusar dan bawah lutut, hukumnya halal. Jika ia bermain antara pusar dan lutut selain kubul dan dubur, jumhûr ulama mengharamkannya. Namun demikian, imam Nawawi sendiri menghalalkannya dengan karâhah.
Dalil yang dijadikan landasan imam Nawawi adalah hadits yang diriwayatkan oleh istri-istri Nabi SAW, bahwa “Sesungguhnya Nabi SAW jika menginginkan dari istri-istrinya yang sedang haid, maka beliau akan melemparkan sesuatu diatas farjinya”. (HR Abu Dawud). Hadit lain yang diriwayatkan Masruq bin Ajda’ bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah, “ Apa hak suami kepada istri jika ia sedang haid? Aisyah menjawab, ‘Semuanya terkecuali farjinya”. (HR Bukhari)
6. Talak
Diharamkan menjatuhkan talak kepada istri ketika ia sedang haid. Jika suami tetap mentalaknya, maka akan dianggap sebagai talak bid’i, karena dianggap telah memperpanjang masa iddah bagi wanita, serta telah menyalahi aturan Allah sebagaimana tercantum dalam firman-Nya, “Jika kamu semua (menjatuhkan) talak bagi istri-istrimu maka talaklah karena iddah-iddah mereka”. Artinya diwaktu mereka dapat menjalani masa iddah. Karena sesungguhnya sisa masa haid tidak dianggap sebagai masa iddah. Dengan demikian hal ini dapat memberikan madharat bagi wanita dikarenakan masa penantian menjadi semakin panjang. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia menjatuhkan talak kepada istrinya pada waktu ia haid. Maka Umar mengadukan hal itu kepada Nabi SAW. Kemudian beliau bersabda, “Perintahkan kepadanya agar merujuk (istrinya) kemudian mentalaknya ketika ia telah suci, atau ia hamil”.
Pengertian ishtihadhah.
Ishtihadhah adalah darah yang mengalir dari ujung bawah rahim bukan pada waktu haid atau nifas karena sakit atau rusak (fasad). Setiap pendarahan bagi wanita sebelum waktu haid, yaitu umur 9 tahun, atau kurang dari batas minimum waktu haid, atau lebih dari bats maksimum waktu haid, atau batas maksimum nifas, atau lebih dari batasan normal bagi yang bersangkutan setiap bulannya, atau darah yang keluar pada waktu wanita hamil adalah darah istihadah.
Istihadah tidak berpengaruh terhadap tanggungan hukum syariat seperti shalat, puasa haji, iktikaf, tawaf, masuk masjid, membaca alquran bersetubuh. Menurut Syafiiyah bahwa wanita yang mengeluarkan darah isthadah hanya wajib berwudu tiap kali akan menjalankan shalat.Ia juga diperbolehkan ikut shalat janazah, atau shalat sunnah lainya. Hendaknya ia segera melaksanakan shalat setelah berwudu, terkecuali karena kebutuhan seperti menutup aurat, mendengar adzan dan iqamah, menanti waktu shalat jamaah, berijtihad dalam mencari arah qiblat, pergi ke masjid dll. (Wahyudi Abdurrahim)
Dr Whbah Al Zuhaily, Al Fiqhg Al Islamy Wa adillatuhu. Dar Al fikr hal. 87-88
Ibid hal. 455-457
Ibid hal. 459-4461
Ibid hal. 465
Ibid hal. 467-468
Syaikh Athiyah Shaqar, Mausuah Al Usrah Thta Ri’ayatil Islam. Juz II hal. 211
Ibid hal. 212
Ibid hal. 217
Dr Whbah Al Zuhaily, Al Fiqhg Al Islamy Wa adillatuhu. Dar Al fikr hal 384
Assayid Assabiq, Fiqhussunnah. Dar Al Fathi Lil I’lam Al Araby, hal. 62-63
Op. Cit hal. 383
Dr Whbah Al Zuhaily, Al Fiqhg Al Islamy Wa adillatuhu. Dar Al fikr hal . 470
Assayid Assabiq, Fiqhussunnah. Dar Al Fathi Lil I’lam Al Araby, hal. 63
Op. Cit 478
Bagaiman cara bersuci dari haid atau junub ?
——————————————————————————–
Cara mandi bagi wanita yang sudah selesai haidnya atau telah berjunub adalah sama dengan cara laki-laki mandi junub, hanya bagi wanita tidak wajib atasnya melepas ikatan atau kepangan (jalinan) rambutnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu Salamah radhiallahu anhaa berikut ini : “Seorang wanita berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : “Sesungguhnya aku adalah orang yang mengikat rambut kepalaku. Apakah aku (harus) membuka ikatan rambutkau untuk mandi janabat. ” Rasulullah menjawawb: “Sungguh cukup bagimu menuang mengguyur) atas kepalamu tiga tuangan dengan air kemudian engkau siram seluruh badanmu, maka sungguh dengan berbuat demikian) engkau telah bersuci.” {HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi dan dia berkata hadits ini adalah hasan shahih)
Dalam riwayat lain hadits ini dari jalan Abdurrazaq dengan lafadz: “Apakah aku harus (harus) melepaskannya (ikatan rambutku) untuk mandi janabat?” disunahkan bagi wanita apbila mandi dari haid atau nifas memakai kapas yang ditaruh padanya minyak wangi lalu digunakan untuk membersihkan bekas darah agar tidak meninggalkan bau. Hal ini diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisah Radhiallahu anha : “Bahwasanya Asma binti Yazid bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang mandi haid. Maka beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda : “(hendklah) salah seorang di antara kalian memakai air yang dicampur dengan daun bidara (wewangian), kemudian dia bersuci dengannya lalu berwudhu dan memperbaiki wudhunya. Kemudian dia siramkan air di atas kepalanya. Lalu dia siramkan atasnya air (ke seluruh tubuh) setelah itu (hendaklah) dia mengambil kapas (atau kain yang telah diberi minyak wangi) kemudian ia bersuci dengannya.”{HR. Al-Jamaah kecuali Tirmidzi}
Tidaklah mandi haid atau junub dinamakan mandi syari, kecuali dengan dua hal :
1. Niat, karena dengan niat terbedakan dari kebiasan dengan ibadah, dalilnya hadits Umar bin Khaththab radhiallahu anhu: “bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya amalan itu tergantung dari niatnya.”{HR. Al-Jamaah}
Maknanya adalah bahwasanya sahnya amalan itu dengan niat, amal tanpa niat tidak dianggap syari. Yang perlu diingat bahwa niat adalah amalan hati bukan amalan lisan, jadi tidak perlu diucapkan.
2. Membersihkan seluruh anggota badan (mandi) dalam mengamalkan firman Allah subhanahu wa Taala: “Dan apabila kalian junub maka mandilah.{Al-Maidah :6}
Dan juga firman Allah subhanahu wa Taala : “Mereka bertanya kepadamu tentang haid , katakanlah haid itu kotoran yang menyakitkan) maka dari itu jauhkanlah diri kalian dari wanita (istri)yang sedang haiddan janganlah engkau mendekati mereka, sampai mereka bersuci (mandi).”{Al-Baqarah : 222}
Adapun tata cara mandi yang disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah :
1. mencuci kedua tangan sekali, dua kali atau tiga kali.
2. lalu mencuci kemaluan dengan tangan kiri, setelah itu tangan bekas menggsok kemaluan tersebut digosokan ke bumi.
3. kemudian berwudhu seperti wudhunyaorang yang mau shalat. Boleh mengakhirkan kedua kaki (dalam berwudhu tidak mencuci kaki)sampai mandi selesaibaru kemudian mencuci kedua kaki.
4. membasahi kepala sampai pangkal rambutdengan menyela-nyelanya dengan jari-jemari.
5. setelah itu menuangkan air di atas kepala sebanyak tiga kali.
6. kemudian menyiram seluruh tubuh, dimulai dengan bagian kanan tubuh lalu bagian kiri sambil membersihkan kedua ketiak, telinga bagian dalam, pusar dan jari jemari kaki serta menggosok bagian tubuh yang mungkin digosok.
7. selesai mandi, mencuci kedua kaki bagi yang mengakhirkannya (tidak mencucinya tatkala berwudhu)
8. membersihkan/mengeringkan airyang ada di badan dengan tangan (dan boleh dengan handuk atau lainnya)
Tata cara mandi seperti di atas sesuai dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam : “dari Aisah radhiallahu anha, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam apabila dari junub beliau mulai dengan mencuci kedua tangannya, lalu beliau mengambil air dengan tangan kanan kemudian dituangkan di atas tangan kiri (yang) beliau gunakan untuk mencuci kemaluannya. Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya orang yang mau shalat. Selesai itu beliau mengambil air(dan menuangkannya di kepalanya)sambil memasukan jari-jemarinyake pangkal rambutnyahingga beliau mengetahui bahwasanya beliau telah membersihkan kepalanya dengan tiga siraman (air), kemudian menyiram seluruh badannya.”{HR. Bukhari dan Muslim}
Dan juga hadits : “Dari Aisyah radhiallahu anha berkata: Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila mandi janabat beliau meminta air, kemudian beliau ambil dengan telapak tangannya dan dan mulai (mencuci) bagian kanan kepalanya lalu bagian kirinya. Setelah itu beliau mengambil air dengan kedua telapak tangannya lalu beliau balikkan (tumpahkan) di atas kepalanya.”{HR. Bukhari dan Muslim}
Dalam hadits lain : “Dari Maimunah radhiallahu anha berkata : “Aku meletakan air untuk mandi Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kemudian beliau menuangkan atas kedua tangannya dan mencucinya dua atau tiga kali, lalu beliau menuangkan dengan tangan kanannya atas tangan kirinya dan mencuci kemaluannya (dengan tangan kiri), setelah itu beliau gosokkan tangan (kirinya) ke tanah.Kemudian beliau berkumur-kumur, memasukanair ke hidung dan menyemburkannya, lalu mencuci kedua wajah dan kedua tangannya, kemudian mencuci kepalnya tiga kali dan menyiram seluruh badannya. Selesai itu beliau menjauh dari tempat mandinya lalu mencuci kedua kakinya. Berkata Maimunah : Maka aku berikan kepadanya secarik kain akan tetapi beliau tidak menginginkannya dan tetaplah beliau mengeringkan air (yang ada pada badannya) dengan tangannya.”{HR. Al-Jamaah}
Cara mandi di atas adalah cara mandi wajib yang sempurna yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim dalam rangka untuk mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Perlu diketahui bahwa untuk mandi besar ada dua sifat:
1. Mandi sempurna dengan menggunakan cara-cara di atas.
2. Mandi biasa yaitu mandi yang hanya melakukan hal yang wajib saja tanpa melakukan sunnahnya, dallinya keumuman ayat dalam surat yang artinya : “Janganlah kalian dekati mereka (wanita Haid) sampai mereka bersuci (mandi) dan apbila mereka telah mandi….”{Al-Baqarah 222}. Dan juga dalam firman Allah subhanahu wa Taala : Dan apabila kalian junub maka bersucilah (mandilah).”{Al-Maidah : 6}
Dalam dua ayat di atas Allah subhanau wa Taala tidak menyebutkan kecuali mandi saja, dan barang siapa telah membasahi seluruh badannya dengan air dengan mandi besar walaupun hanya sekali berarti dia telah suci. Yang demikian juga telah ada keterangan dari hadits shahih dari Aisyah dan Maimunah radhiallahu anhuma, juga hadits Ummu Salamah radhiallahu anha : “Cukuplah bagimu menuangkan air di atas kepalanya tiga kali tuangan , kemudian engkau siram (seluruh badanmu) dengan air, (dengan berbuat dmikian) maka sungguh engkau telah bersuci.”{HR. Muslim}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar